17 Oktober, 2008

MARKETING POLITIK DAN KEINDAHAN KOTA*)

Oleh:
Drs. Suharno, MM, Akuntan
Dosen Program Studi Akuntansi dan Magister Manajemen
Universitas Slamet Riyadi Surakarta.

Ada suasana berbeda lebaran tahun ini dengan lebaran tahun lalu. Lebaran tahun ini kita seolah menjadi warga masyarakat yang tersanjung dan terhormat Betapa tidak ? Lihat disekeliling Anda. Setiap lewat di pelosok jalanan kampung sampai tengah kota, puluhan bahkan ratusan wajah ceria dengan senyum sumringah, terpampang di spanduk, baliho dan poster menyapa Anda dengan ucapan “ Selamat Hari Raya Idul Fitri 1429 H “. Betapa ramahnya mereka. Padahal kita belum mengenal mereka dan mereka pun belum tentu mengenal kita. Siapakah sebenarnya mereka ?

Anda jangan gegeden rumangsa (geer) dulu, mereka adalah para politisi dan calon politisi yang akan bertarung pada pemilu legislatif 2009. Mereka akan memperebutkan kursi di DPR/DPRD. Untuk memperoleh dukungan masyarakat mereka memanfaatkan tradisi mudik lebaran sebagai ajang mempromosikan diri dan partai pengusungnya kepada publik. Mereka sadar pemilu 2009 merupakan pemilu yang paling berat karena akan diikuti 44 partai politik (parpol). Sehingga selain harus bersaing dengan parpol lain mereka juga harus bersaing secara internal dengan rekan sendiri. Dalam persaingan yang sangat super ketat ini untuk bisa lolos menduduki kursi di DPR/DPRD membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit. Baik yang bersifat finansial dan non finansial.

Mari kita lihat. Sebagai contoh untuk pemilihan legeslatif wilayah kota Solo saja terdapat 554 calon legistaif (caleg) yang telah siap memperebutkan 40 kursi di DPRD (Solopos, 18 September 2008). Menyadari persaingan yang demikian ketatnya, tidak aneh bila parpol dan para caleg berlomba mengenalkan dan menampilkan citra dirinya lewat berbagai sarana publikasi yang ada. Semua mereka manfaatkan. Tidak tanggung-tangguh. Baik melalui media cetak, media elektronika, maupun pemasangan iklan in door maupun out door. Ibaratnya tidak ada sejengkal tanah yang luput dari perhatian mereka.

Saking semangatnya, tidak jarang mereka membabi buta. Kita sering melihat, fasiltias umum yang mestinya bebas dari alat peraga tak urung digunakan pula untuk memajang bendera parpol dan foto dirinya. Seperti pos ronda, tembok rumah, pepohonan, halte bus, sekolahan, pasar, sampai taman kota. Akibatnya wajah kota Solo yang mulai nampak cantik dan menawan, berubah semrawut dan tidak sedap dipandang mata. Dipenuhi dan dijejali berbagai macam umbul-umbul, spanduk, poster, bendera parpol dan gambar caleg.

Berbagai atribut tersebut jelas-jelas sangat mengganggu kerapian dan keindahan kota. Apalagi kalau pemasangan alat peraga, sekedar asal pasang dan saling jor-joran. Dalam benak mereka mungkin hanya satu yang dipikir bagaimana agar wajah, nama dan parpol pengusung diketahui masyarakat. Tetapi efektifkah langkah yang mereka tempuh ?


Strategi Marketing Politik

Ini yang mestinya pantas direnungkan dan diperhitungkan oleh pengurus parpol dan para caleg sebelum melangkah. Mestinya para caleg dan pengurus parpol melakukan audit terhadap strategi kampanye yang saat ini tengah dijalankan. Bila tidak, apa yang dilakukan boleh jadi malah kontraproduktif. Masyarakat tidak simpati, namun malah menjadi antipasti.

Hal ini juga menandakan bahwa sebagian besar pengurus parpol dan caleg tidak memiliki konsep dan perencanaan yang jelas dan matang. Patut diduga orang-orang berlomba mendirikan parpol dan mencalonkan diri sebagai caleg hanya sekedar efouria politik semata. Tidak benar-benar memahami dan sedang memperjuangkan aspirasi masyarakat yang sesungguhnya. Penulis tidak bisa bayangkan mendekati hari H nanti, bila semua parpol dan caleg semua ngotot ingin pasang alat peraga disembarang tempat. Apa jadinya wajah kota Solo ?

Model kampanye konvensional dengan pemasangan alat peraga seperti itu mestinya sudah ditinggalkan. Parpol dan caleg mestinya bisa bermain lebih cerdas, cantik dan bermartabat. Alat peraga memang masih dibutuhkan, namun jumlah, cara pemasangan dan pemilihan tepat harus dilakukan dengan pas dan tepat secara terintegrasi. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah strategi marketing politik yang disusun secara terencana dan terukur.
Di dunia barat, Marketing politik diyakini sebagai metode dan instrument yang dapat membantu politisi dan parpol untuk dapat bersaing dan memenangkan persaingan (Majalah Usahawan, 2008). Secara konsep marketing politik tidak jauh berbeda dengan marketing yang digunakan dalam dunia bisnis. Dalam dunia bisnis pengusaha menjual produk, sedangkan dalam dunia politik, politisi menjual visi, misi dan program kepada masyarakat. Agar “ jualannya laku “ mereka harus memahami dan mengenal siapa audiennya, sehingga bisa membidik target secara tepat. Untuk itu pengurus parpol dan caleg seyogyanya belajar dan menerapkan marketing politik.

Dalam marketing politik, politisi sebelum melangkah harus lebih dahulu memetakan dan menganalisis lingkungan, memahami perilaku pemilih, melakukan segmentasi, targeting dan positioning. Segmentasi diperlukan untuk memilah-milah pemilih berdasarkan aspek geografis, demografis atau psikografis. Dengan segmen yang jelas, maka politisi dapat melakukan targeting yaitu memilih target sasaran (pemilih) secara tepat.

Langkah-langkah di atas perlu dilakukan, agar program dan kegiatan yang akan dilaksanakan bisa berjalan efisien dan efektif. Setelah mengetahui dan memahami siapa calon pemilih, caleg dan parpol perlu melakukan positoning. Yaitu menyusun serangkain simbol-simbol, slogan, jargon atau indentitas tertentu yang singkat dan sederhana yang gampang menancap dibenak masyarakat. Sebagai contoh bila ada orang mengatakan ” Bersama kita bisa “ pasti orang akan ingat slogan SBY waktu pilpres 2004.

Marketing Mix

Dalam marketing kita juga mengenal istilah marketing mix (bauran pemasaran) yang mencakup strategi kombinasikan 4 P yaitu Product, Price, Place dan Promotion. Namun sayang, penerapan marketing politik di Indonesia hanya berkutat pada masalah place (distribusi) dan promotion (promosi). Komponen product dan price jarang disampaikan kepada publik. Indikasi ini nampak dari perilaku politisi, yang jarang membahas dan menyampaikan visi dan misi. Mereka lebih suka jor-joran memasang bendera, spanduk, baliho, poster di mana-mana. Bila perlu memasang atribut kampanye di atas pohon dan gunung yang paling tinggi. Atau berlomba memasang iklan di media secara besar-besaran dengan menggunakan endoser para selebritis.

Masalah urusan produk biasanya mereka stereotype sekedar menjual janji-janji yang hampir sama. Menjanjikan yang serba gratis. Pendidikan gratis, pengobatan gratis, sembako gratis, dll. Sehingga apabila ada pertanyaan mengapa kita harus memilih partai Anda ? Berapa harga yang pantas yang Anda berikan kepada saya, saat saya memutuskan memilih partai Anda ? Hampir pasti jawaban untuk pertanyaan ini, tidak pernah bisa dijawab.

Melalui rubrik ini penulis mengajak kepada pengurus parpol, caleg dan tim sukses untuk mempertimbangkan kembali model kampanye yang hanya sekedar tampel alat peraga secara serampangan disembarang tempat. Tidak jarang melanggar ketentuan yang berlaku. Padahal mereka nantinya bila terpilih akan menyusun, menjalankan dan mengawal undang-undang. Aneh bukan ! Orang jawa mengatakan: “ Gajah ngidak rapak “.

Penulis juga sangat mendukung dengan langkah Pemkot Solo yang bersikap tegas mencopot atribut kampanye yang dipasang melanggar aturan tanpa pandang bulu. Mari kita jaga etika dan estetika dalam menyambut pemilu 2009. Agar kota Solo kembali Berseri nampak asri dan menjadi barometer nasional dalam semua aspek kehidupan. Bagaimana pendapat Anda ?

*) Artikel dimuat Solopos, 06 Oktober 2008, dengan judul Marketing Politisi Rusak Keindahan Kota.

Tidak ada komentar: