17 Oktober, 2008

ANGGARAN PENDIDIKAN TINGGALKAN BOM WAKTU

Oleh:
Drs. Suharno, MM, Akuntan
Dosen Program Studi Akuntansi dan Magister Manajemen
Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Surakarta

Pidato Kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Jumat, 15 Agustus 2008 membawa kabar kembira dan angin segar bagi kalangan PNS khususnya kalangan pendidik. SBY menjanjikan pemenuhan anggaran pendidikan sebesar dua puluh persen sebagaimana diamanatkan undang-undang. Di samping itu SBY juga menjanjikan kenaikan gaji bagi PNS sebesar 15 persen. Sedangkan khusus untuk kalangan guru gaji menimal sebesar dua juta rupiah per bulan.

Janji-janji tersebut tentunya membawa konsekuensi membengkaknya anggaran. Dalam RAPBN 2009 kenaikkan anggaran pendidikan sangat signifikan. Alokasi anggaran pendidikan tahun 2008 hanya Rp 154 triliun. Sedangkan untuk tahun anggaran 2009 pemerintah mematok anggaran pendidikan menjadi Rp 224 triliun. Berarti naik sebesar Rp 70 triliun atau setara dengan kenaikkan 45 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Kenaikkan alokasi anggaran pendidikan ini perlu dikritisi, karena kebijakan ini akan berdampak pada masa depan bangsa Indonesia. Sebagai warga negara, penulis sangat mendukung dan mendorong pemerintah agar memenuhi anggaran pendidikan sebagaimana amanat konstitusi. Namun cara pemenuhannya harus melalui mekanisme yang benar. Menggunakan kaidah-kaidah manajemen pengganggaran yang mampu menjamin keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara dalam jangka panjang. Tidak pragmatis dan bersifat instant.

Dalam pengamatan penulis ada beberapa kelemahan mendasar terhadap kebijakan pemerintah dalam memenuhi anggaran pendidikan sebesar dua puluh persen. Diantaranya adalah tidak adanya perencanaan yang matang, komprehensif dan integral terhadap program dan kegiatan yang akan dijalankan. Bukan rahasia umum lagi selama ini program dan kegiatan tiap-tiap instansi, departemen dan satuan unit kerja masih bersifat parsial dan budget oriented.
Indikator ini tersirat dari pidato SBY saat menghadiri silaturohmi bersama para teladan nasional di Hall D Jakarta Internasional Expo Kemayoran, yang menyatakan agar kenaikan anggaran pendidikan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Jangan ada pemborosan dan anggaran pendidikan jangan diselewengkan (Solopos, 19 Agustus 2008).

Persoalan lain yang akan muncul adalah membengkaknya utang negara. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani dampak dari kenaikan anggaran pendidikan defisit anggaran meningkat dari 1,5 persen menjadi 1,9 persen dari produk domestik bruto. Untuk menutup defisit anggaran tersebut pemerintah akan menerbitkan obligasi negara. “ Upaya menutup pembiayaan defisit dari pinjaman luar negeri tidak menjadi prioritas karena pemerintah ingin terus mengurangi porsi utang luar negeri “, ungkapnya (Koran Tempo, 18 Agustus 2008).

Menurut penulis pernyataan tersebut agak naif. Bagaimanapu juga utang tetap utang. Apapun bentuk dan namanya. Bila sudah jatuh tempo kita berkewajiban untuk membayar. Bukankah demikian ?

Menurut Kepala Pusat Pengelolaan Utang, Departemen Keuangan, Rahmat Waluyanto, pemerintah akan menerbitkan obligasi negara untuk tahun depan sebesar Rp 112,5 trilyun. Dari rencana semula yang hanya Rp 94,7 triliun. Berarti ada kenaikan sebesar Rp 17,8 triliun. Untuk apa kenaikan sebesar itu ? Tentunya sebagian besar tentunya untuk nomboki kenaikan anggaran pendidikan.

Mengeluarkan obligasi negara dalam jumlah besar tentunya akan sangat beresiko. Akan muncul masalah bagaimana kalau obligasi tersebut tidak diserap oleh pelaku pasar ? Fauzi Ichsan dari Standard Chartered Bank, mengkhawatirkan bila penerbitan obligasi ini justru akan menjadi beban tambahan bagi negara. Padahal di tahun 2009 utang pemerintah yang akan jatuh tempo, baik berupa obligasi domestik maupun pinjaman luar negeri, lebih dari Rp 100 triliun.

Masih dibayang-bayangi dengan kondisi makro ekonomi yang tidak menentu. Utamanya terkait dengan fluktuasi harga minyak dunia. Tahun 2009 pemerintah mengasumsikan harga minyak mentah Indonesia US $ 100 per barel. Kondisi ini sangat riskan. Betapa tidak ? Jika harga minyak dunia naik US $ 10 per barel defisit akan membengkak sebesar Rp 1 triliun. Belum lagi situasi politik yang kian memanas memasuki pemilihan umum, serta melambatnya ekonomi dunia dan negara maju. Bila ini terjadi dapat dipastikan ekspor bisa turun tajam. Padahal selama ini ekspor non migas menjadi salah satu unggulan dari penerimaan devisa negara.

Meninjau Ulang Pengganggaran.

Melihat dari data di atas terkesan pemenuhan anggaran pendidikan sebesar 20 persen hanya sebatas “mark up” anggaran. Sehingga perilaku birokrasi dan elite politik tidak berubah. Tetap seperti semula. Berorientasi pada apa yang mau saya kerjakan dan apa yang dapat saya kerjakan. Mestinya ditumbuhkan suatu kesadaran bagaimana dengan dana yang terbatas, namun kita dapat memprioritaskan anggaran pendidikan. Bila perlu melakukan gerakan kencangkan ikat pinggang.

Bila ini yang dilakukan sama saja pemerintah tidak memiliki komitment untuk melakukan perubahan anggaran secara mendasar. Mestinya pemerintah harus berani melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap struktur anggaran dan pembiayaan selama ini. Bukankah anggaran kita berpedoman pada anggaran kinerja. Anggaran kinerja selalu menekankan pada aspek value for money. Menekankan aspek ekonomi, efisiensi dan efektivitas yang bermuara pada asas transparansi dan akuntabilitas, serta keadilan.

Sudah saatnya pemerintah berani memangkas program kerja, kegiatan dan berbagai macam proyek, serta kegiatan politik yang sekedar menghambur-hamburkan uang rakyat. Atau berbagai macam bentuk bantuan dan subsidi yang tidak jelas. Tidak tepat sasaran. Sekedar indah di konsep, namun gagal saat pelaksanaan di lapangan. Misalnya saja, untuk mewujudkan demokrasi yang kita dambakan, perlukah kita harus menyelenggarakan pemilu mulai dari tingkat kepala desa, bupati/walikota, gubernur sampai presiden secara langsung ? Bagaimana pendapat Anda ?

*) Artikel dimuat di rubrik Gagasan, Solopos, 27 Agustus 2008

Tidak ada komentar: